Saturday, 14 November 2009

Pengertian Dasar Pajak Pertambahan Nilai


Pajak pertambahan Nilai (value added tax) pertama kali diperkenalkan oleh seorang Jerman, Carl Friederich von Siemens, pada tahun 1919. Ironisnya, justru pemerintah Prancis yang pertama kali menerapkan PPN dalam sistem perpajakan pada tahun 1954. Sedangkan, Jerman baru menerapkannya pada awal tahun 1968. Indonesia baru mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985 menggantikan Pajak Penjualan (PPn) yang sudah berlaku sejak 1951.
Proses penggantian ini merupakan salah satu rangkaian Tax Reform1983. PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menggantikan PPn (Pajak Penjualan) karena memiliki beberapa karakter positif yang tidak dimiliki oleh PPn antara lain:
  1. PPN adalah Pajak Tidak Langsung
    PPN menempatkan konsumen sebagai pihak yang membayar pajak sedangkan yang bertanggung jawab menyetorkannya ke kas negara merupakan kewajiban pengusaha kena pajak. Sehingga, konsumen sebagai pemikul beban PPN tidak secara langsung bertanggung jawab atas pembayaran ke Negara.
  2. PPN adalah Pajak Objektif
    Timbulnya kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek pajak (BKP/ JKP) dengan tidak memperhitungkan kondisi subjektif objek pajak.
    Sebagai contoh, apabila Amir adalah seorang pegawai (K/1) dengan penghasilan bersih Rp 13.000.000 setahun (dibawah PTKP menurut PPh)Rp 600.000 maka keduanya dikenakan PPN dengan tarif yang sama yaitu 10% x Rp 600.000 = Rp 60.000
    Dari contoh diatas dapat dilihat bahwa PPN sebagai pajak objektif ini dapat menimbulkan dampak regresif. Dampak regreseif artinya, semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban yang dipikul, begitu pula sebaliknya.
  3. PPN bersifat Multi Stage Levy
    PPN dikenkan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi BKP atau JKP seperti contoh di bawah ini:
    Berikut jalur penjualan barang tekstil
    Industri benang > Perusahaan tekstil > Perusahaan garmen > Pedagang besar > Pedagang eceran > Konsumen
    Setiap transaksi ini akan dikenakan PPN atas nilai tambah dari masing-masing BKP.
  4. Penghitungan PPN terutang menggunakan Indirect Substraction Method
    Metode penghitungan PPN yang akan disetor ke kas Negara adalah dengan cara mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran, seperti contoh di bawah ini:
  • Harga jual    Rp15.000    PK = 10% x Rp 15.000 = Rp1.500
  • Harga beli    Rp10.000     PM = 10% X Rp10.000 = Rp1.000
  • PPN Terutang untuk disetor ke kas Negara = Rp1.500 – Rp1.000 = Rp500
  1. PPN bersifat Non-Kumulatif
    Meskipun dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi, PPN yang disetor ke kas Negara hanyalah nilai tambah dari BKP atau JKP yang bersangkutan (dengan mekanisme Pajak Keluaran-Pajak Masukan), sehingga pengenaan PPN tidak menimbulkan dampak pajak berganda.
  2. PPN menganut tarif tunggal
    PPN di Indonesia menganut tarif tunggal yang dalam UU PPN 1984 ditetapkan sebesar 10% yang mana dengan Peraturan Pemerintah dapat dinaikkan paling tinggi 15% atau diturunkan paling rendah 5%. Pengecualian dari tarif tunggal ini adalah tariff 0% atas Ekspor BKP, agar harga barang ekspor benar-benar bersih dari unsur PPN dalam negeri sehingga barang ekspor Indonesia dapat bersaing dengan barang ekspor dari Negara lainnya.
  3. PPN adalah Pajak atas Konsumsi dalam Negeri
    PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean RI. Apabila barang atau jasa itu akan dikonsumsi di luar negeri, tidak dikenakan PPN di Indonesia. Ini sesuai dengan destination principle (pajak dikenakan dimana barang itu dipergunakan). Namun lain halnya, jika barang tersebut dikonsumsi di luar negeri namun bertujuan untuk memberi manfaat di dalam negeri , seperti jasa periklanan di luar negeri yang manfaatnya diterima oleh perusahaan di dalam negeri, maka PPN dikenakan atas transaksi tersebut.
  4. PPN yang diterapkan adalah PPN tipe Konsumsi (Consumption Type VAT)
    Dilihat dari sisi perlakuannya terhadap barang modal maka seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal dapat dikurangi dengan DPP sehingga kemungkinan terjadinya pengenaan pajak berganda atas barang modal dapat dihindari yang mana dapat mendorong pengusaha yang dikenakan PPN untuk melakukan peremajaan barang modalnya secara berkala.
    PPN sebagai pajak atas konsumsi memberikan indikasi bahwa PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis. Sifat ini menunjukkan perbedaan yang mendasar dengan PPh.

3 comments:

  1. Saya masi tidak paham dengan istilah ppn bukan pajak atas kegiatan bisnis, mohon diperjelas pemisalannya, thanks

    ReplyDelete
  2. Terimakasih artikelnya, sungguh membantu

    ReplyDelete